Salahkah Menjadi Waria?
J u d u l : Hidup Sebagai Waria
Penulis : Koeswinarno
Pengantar : Merlyn Sopjan
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Cetakan : I, 2004
T e b a l : xvi + 168 hlm.
Dunia waria merupakan salah satu wilayah yang lepas dari sudut pandang yang hanya mengakui segala hal pada dua wilayah yang saling bertentangan, seperti hitam-putih, kaya-miskin, dan pandai-bodoh. Pada wilayah jenis kelamin dan orientasi seks-pun, masyarakat hanya mengakui jenis laki-laki dan perempuan. Secara tegas, keduanya dikonstruk pada posisinya masing-masing dan tidak boleh saling bertukar.
Pada tahun 60-an, waria di Yogyakarta masih tertutup, karena pada tahun ini Yogya belum begitu permisif dengan masalah seksual dan belum banyak orang terdidik berdatangan seperti tahun 70-an dan sesudahnya. Hanya kalangan tertentu yang menikmati jasa seksual mereka. Mereka tidak memiliki tempat mangkal khusus seperti sekarang.
Selain jumlah mereka tidak cukup besar sebagaimana tahun 80-an juga karena belum banyak waria-waria pendatang di Yogya. Sebagai penjaja seks pada waktu itu, mereka (waria) benar-benar harus fight hidup berdampingan bersama pelacur yang beroperasi di sekitar Pasar Kembang (orang Yogya menyebutnya, Sarkem). Hingga tahun 80-an daerah Sarkem lebih dikenal dengan nama mBalokan, karena menurut sejarahnya di sekitar Sarkem dan sebelah utara Stasiun Tugu, merupakan tempat penimbunan kayu-kayu besar atau balok-balok kayu.
Kaum waria di kota Yogya umumnya memiliki mobilitas dan dinamika sosial cukup tinggi yang diikuti dengan rapatnya jaringan dari berbagai kota. Jaringan sosial ini terjadi secara dialektik. Artinya, mobilitas waria dalam satu sisi akan menciptakan jaringan sosial, namun rapatnya jaringan sosial justru membuka peluang untuk menciptakan mobilitas sendiri.
Tingkat persaingan waria di Yogya relatif rendah. Berbeda dengan Jakarta, seorang waria di Jakarta dituntut untuk mengikuti trend model pakaian. Selain itu, waria yang tidak melakukan operasi di beberapa bagian tubuh seperti bibir, pipi, dagu, maupun payudara tidak akan mampu bersaing, karena penampilan sangat penting.
Konteks waria di dalam masyarakat setidaknya bisa dilihat melalui dua fenomena, pertama, bagaimana waria yang hidup dalam lingkungan sosial bersama keluarga, kedua, waria yang hidup, baik sendiri maupun berkelompok di dalam sebuah lingkungan sosial tanpa keluarga. Dua konteks ini penting karena akan menghasilkan implikasi yang berbeda. Konteks pertama, negosiasi dengan lingkungan sosial dilakukan bersama-sama dengan keluarga, sedang pada konteks kedua, negosiasi dengan lingkungan sosial dilakukan secara mandiri atau bersama waria yang lain.
Membidangi dunia waria agaknya memang harus senantiasa memahami dunia pelacuran sebagai wacana yang sangat khas dalam kehidupan mereka. Dalam konteks sosial, pelacuran agaknya senantiasa dipandang sebagai suatu praktik hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja secara promiskuitas. Sebuah praktik relasi seksual yang tidak terlembagakan dalam ikatan perkawinan dan demi sebuah imbalan jasa berupa upah.
Buku setebal 168 halaman ini berupaya melihat bagaimana ruang sosial memberikan pengaruh terhadap keberadaan waria, serta bagaimana waria secara kelompok merespons kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam ruang sosial yang menekannya. Buku ini menunjukkan bahwa ruang sosial, yakni keluarga, masyarakat dan kehidupan antarwaria menjadi media yang sangat penting dalam pembentukan makna hidup.
Koeswinarno, melalui buku ini, menyelami ruang batin kaum waria secara mendalam. Meskipun kajian ini hanya yang terjadi di Yogyakarta, tetapi secara umum dapat memotret dunia waria. Titik puncak yang digoreskan penulis buku ini jelas bahwa kaum waria merupakan bagian dari masyarakat yang harus diberi ruang gerak yang sama sebagaimana orang-orang yang selama ini mengklaim diri sebagai “normal”.
Buku ini menarik dibaca karena secara utuh buku ini merupakan sumbangan konkret yang mengurai persoalan kompleksitas perilaku waria yang memberi pengaruh terhadap ruang sosial, keluarga, masyarakat, dan tempat pelacuran. Dan, menjadi sumbangan yang sangat bernilai bagi semua kalangan, baik civitas akademika, pemerhati sosial, maupun masyarakat luas.
Namun kiranya perlu sedikit lagi "sentuhan". Misal, perlu ditambah data secara statistik dan photo lokasi tempat mangkal waria di Yogya agar pembaca dan masyarakat umumnya dapat lebih mengetahui kondisi dan perkembangan waria di Yogya.