Selasa, 17 Januari 2012

Dangdut, Musik yang Populis
J u d u l   : Dangdut Musik Rakyat
Penulis    : Dharmo Budi Suseno
Editor      : dEn Bagus Brewok
Penerbit : Kreasi Wacana
Cetakan  : I, Januari 2005
T e b a l   : xvi + 160 hlm.

       Musik dangdut merupakan perpaduan antara musik melayu dengan musik India. Istilah musik dangdut muncul dan dikenal tahun 1970-an. Kata dangdut diindikasikan berasal dari bunyi kendang khas yang umumnya digunakan dalam pertunjukan dangdut, yakni semacam tabla (gendang India) yang bisa menghasilkan bunyi yang unik yaitu nduut. Musik dangdut cepat populer di masyarakat Indonesia karena suara gendang dalam musik tersebut mirip dengan suara gendang atau  kendang asli Indonesia.
       Fenomena dangdut sesungguhnya fenomena nasional karena telah merebak hampir ke seluruh lapisan masyarakat tanpa batasan umur maupun profesi. Mulai tua, muda, laki-laki, perempuan, dari buruh, nelayan, petani, TNI, pegawai negeri bahkan presiden, dari hajatan kampung sampai acara hotel berbintang, dari pemilu legislatif sampai pemilu Presiden. Gencarnya pertunjukan musik dangdut melalui media televisi maupun melalu pertunjukan hidup di panggung terbuka merupakan bukti konkret yang meneguhkan bahwa musik dangdut adalah musik yang populis, merakyat.
         Sajian gaya penulisan buku ini memadukan antara fiksi dan non-fiksi. Pada bagian awal, tersaji sebuah cerpen yang mengisahkan perjalanan Arya Rossa (tokoh sentral) menjadi seorang penyanyi dangdut. Meskipun fiktif, tatapi inspirasi kejadiannya memang ada serta mungkin pernah dan sedang terjadi di sekitar kita.
     Pada bagian selanjutnya, penulis menelisik sejarah dan perjalananan musik dangdut. Kebanyakan pemerhati menyatakan bahwa keberadaan musik dangdut sebagai musik hiburan populer adalah pada tahun 1959 ketika Ellya Kadam menyanyikan lagu berjudul Boneka dari India, sebagai cikal bakal musik dangdut asli Indonesia. Meskipun nuansa ke-India-annya mendominasi, Ellya Kadam mengembangkan gaya nyanyian khas orkes melayu dengan napas, ritme dan tekstur suara baru.
        Pada dekade 60-an berkibar beberapa nama seperti Ellya Agus, Ida Laila, A. Rafiq, M. Mashabi, Munif Bahasuan, Elvie Sukaesih, Ahmad Basahil, Muhsin Alatas, Rhoma Irama, dan Mansyur S. Pada era ini, musik irama melayu mulai terdesak dengan musik rock yang merebak di kalangan anak muda kota. Bahkan pada dasa warsa 70-an itu sempat terjadi 'perang' antara musik rock dengan dangdut yang ketika itu dikibarkan oleh Benny Soebardja, gitaris group rock Giant Step.
       Sepuluh tahun kemudian, 1980-an musik dangdut berhasil menyusup ke dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia dan mampu memrepresentasikan nilai-nilai universal masyarakat. Di era ini, eksistensi dan kepercayaan musisi dangdut semakin mantap di blantika nasional bahkan internasional. Hal ini cukup beralasan karena, pertama pemberian gelar "super star pelipur lara" Indonesia kepada Rhoma Irama dari William Frederick, doktor sosiologi universitas Hawaii tahun 1982 dengan hasil penelitiannya yang dituangkan dalam disertasinya "Rhoma Irama and the dangdut style". Dan kedua tahun 1985 Tarantula manggung 3 hari di Shibuya Jepang, Camelia Malaik mengenakan busana ala Srikandi dan Reynold bergaya Gatot Kaca. Style yang diusung mampu membuka pasar dangdut Tanah Air di negeri matahari terbit itu.
       Tahun 1990-an biduan biduanita bermunculan, semisal Cici Paramida, Evie Tamala, Iis Dahlia, Ikke Nurjanah, dan Cucu Cahyati. Mereka eksis mendampingi para pendahulunya. Di era ini, muncul aliran musik bernuansa disco remix yang mampu menembus diskotek-diskotek di banyak kota. Pelopornya adalah Jeffry Bule yang kemudian diikuti oleh penyanyi lain yang semula bukan penyanyi dangdut. Misalnya Anis Marsella, Ati adiati, dan Merry Andani. Sayangnya, aliran ini hanya ngetrend untuk sesaat saja.
       Setelah titik kejenuhan musik disco dangdut mencapai kulminasinya, pada tahun 1994, musik dangdut seolah kembali ke khittah dengan alat musik gendang, suling, dan siter. Evi Tamala sang pelantun tembang Selamat Malam merupakan pedangdut yang mengajak kembali ke selera asal itu. Pada era ini, Basofi Sudirman, Gubernur Jawa Timur kala itu mendendangkan lagu Tidak Semua Laki-laki. Hal ini tentu semakin memperkuat eksistensi musik dangdut.
       Memasuki awal millenium kedua, televisi berlomba meraih simpati masyarakat dengan menyuguhkan hiburan musik dangdut dalam berbagai konsep, dari recorded maupun live, dari in door sampai out door seperti DIGODA, Syik-asyik, Goyangan, Dangdut-AN, JOGED, Dangdut Pesisiran dan sebagainya, plus acara yang mengupas gosip dan rumor tentang selebritas dangdut di Tanah Air. Di awal 2003 masyarakat kita tentu masih ingat dengan geger tentang perseteruan Inul vs Rhoma Irama yang diblow up habis-habisan oleh media.
       Sudah saatnya musik dangdut perhatian secara kelembagaan, tidak saja dari kalangan musisi maupun birokrat, tetapi kepada semua pihak yang turut peduli. Sehingga musik dangdut lebih mempunyai ruang gerak di dunia musik (khusunya musik dangdut) dan tidak hanya dijadikan objek, tetapi juga dijadikan subjek pembangunan kebudayaan dan peradaban bangsa.
       Pesan yang terkandung dalam buku ini cukup jelas bahwa dalam bermusik (terutama musik dangdut) tidak cukup dengan mengenal kulitnya saja, tetapi yang lebih penting adalah kemauan dan totalitas untuk memahami musik dangdut secara lebih mendalam. Dan melalui buku ini, penulis ingin memberikan kado sebagai bekal untuk para calon diva dangdut, pencinta  dangdut, dan pecinta musik pada umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar