Dangdut, Musik yang
Populis
J u d u l : Dangdut Musik Rakyat
Penulis : Dharmo Budi Suseno
Editor : dEn Bagus Brewok
Penerbit : Kreasi Wacana
Cetakan : I, Januari 2005
T e b a l :
xvi + 160 hlm.
Musik dangdut merupakan perpaduan
antara musik melayu dengan musik India . Istilah musik dangdut muncul
dan dikenal tahun 1970-an. Kata dangdut diindikasikan berasal dari bunyi
kendang khas yang umumnya digunakan dalam pertunjukan dangdut, yakni semacam
tabla (gendang India )
yang bisa menghasilkan bunyi yang unik yaitu nduut. Musik dangdut cepat
populer di masyarakat Indonesia
karena suara gendang dalam musik tersebut mirip dengan suara gendang atau kendang asli Indonesia .
Fenomena dangdut sesungguhnya
fenomena nasional karena telah merebak hampir ke seluruh lapisan masyarakat
tanpa batasan umur maupun profesi. Mulai tua, muda, laki-laki, perempuan, dari
buruh, nelayan, petani, TNI, pegawai negeri bahkan presiden, dari hajatan
kampung sampai acara hotel berbintang, dari pemilu legislatif sampai pemilu
Presiden. Gencarnya pertunjukan musik dangdut melalui media televisi maupun
melalu pertunjukan hidup di panggung terbuka merupakan bukti konkret yang
meneguhkan bahwa musik dangdut adalah musik yang populis, merakyat.
Sajian gaya penulisan buku ini memadukan antara
fiksi dan non-fiksi. Pada bagian awal, tersaji sebuah cerpen yang mengisahkan
perjalanan Arya Rossa (tokoh sentral) menjadi seorang penyanyi dangdut.
Meskipun fiktif, tatapi inspirasi kejadiannya memang ada serta mungkin pernah
dan sedang terjadi di sekitar kita.
Pada bagian selanjutnya, penulis
menelisik sejarah dan perjalananan musik dangdut. Kebanyakan pemerhati
menyatakan bahwa keberadaan musik dangdut sebagai musik hiburan populer adalah
pada tahun 1959 ketika Ellya Kadam menyanyikan lagu berjudul Boneka dari
India, sebagai cikal bakal musik dangdut asli Indonesia. Meskipun nuansa
ke-India-annya mendominasi, Ellya Kadam mengembangkan gaya nyanyian khas orkes melayu dengan napas,
ritme dan tekstur suara baru.
Pada dekade 60-an berkibar beberapa
nama seperti Ellya Agus, Ida Laila, A. Rafiq, M. Mashabi, Munif Bahasuan, Elvie
Sukaesih, Ahmad Basahil, Muhsin Alatas, Rhoma Irama, dan Mansyur S. Pada era
ini, musik irama melayu mulai terdesak dengan musik rock yang merebak di
kalangan anak muda kota. Bahkan pada dasa warsa 70-an itu sempat terjadi
'perang' antara musik rock dengan dangdut yang ketika itu dikibarkan oleh Benny
Soebardja, gitaris group rock Giant Step.
Sepuluh tahun kemudian, 1980-an musik
dangdut berhasil menyusup ke dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia dan
mampu memrepresentasikan nilai-nilai universal masyarakat. Di era
ini, eksistensi dan kepercayaan musisi dangdut semakin mantap di blantika
nasional bahkan internasional. Hal ini cukup beralasan karena, pertama pemberian
gelar "super star pelipur lara"
Indonesia kepada Rhoma Irama dari William Frederick, doktor sosiologi
universitas Hawaii tahun 1982 dengan hasil penelitiannya yang dituangkan dalam
disertasinya "Rhoma Irama and the
dangdut style". Dan kedua tahun 1985 Tarantula manggung 3 hari di
Shibuya Jepang, Camelia Malaik mengenakan busana ala Srikandi dan Reynold
bergaya Gatot Kaca. Style yang diusung mampu membuka pasar dangdut Tanah Air di
negeri matahari terbit itu.
Tahun 1990-an biduan biduanita
bermunculan, semisal Cici Paramida, Evie Tamala, Iis Dahlia, Ikke Nurjanah, dan
Cucu Cahyati. Mereka eksis mendampingi para pendahulunya. Di era ini, muncul
aliran musik bernuansa disco remix
yang mampu menembus diskotek-diskotek di banyak kota . Pelopornya adalah Jeffry Bule yang
kemudian diikuti oleh penyanyi lain yang semula bukan penyanyi dangdut.
Misalnya Anis Marsella, Ati adiati, dan Merry Andani. Sayangnya, aliran ini
hanya ngetrend untuk sesaat saja.
Setelah titik kejenuhan musik disco
dangdut mencapai kulminasinya, pada tahun 1994, musik dangdut seolah kembali ke
khittah dengan alat musik gendang,
suling, dan siter. Evi Tamala sang pelantun tembang Selamat Malam merupakan pedangdut yang mengajak kembali ke selera
asal itu. Pada era ini, Basofi Sudirman, Gubernur Jawa Timur kala itu
mendendangkan lagu Tidak Semua Laki-laki.
Hal ini tentu semakin memperkuat eksistensi musik dangdut.
Memasuki awal millenium kedua,
televisi berlomba meraih simpati masyarakat dengan menyuguhkan hiburan musik
dangdut dalam berbagai konsep, dari recorded
maupun live, dari in door sampai out door seperti DIGODA, Syik-asyik, Goyangan, Dangdut-AN, JOGED,
Dangdut Pesisiran dan sebagainya, plus
acara yang mengupas gosip dan rumor tentang selebritas dangdut di Tanah Air. Di
awal 2003 masyarakat kita tentu masih ingat dengan geger tentang perseteruan
Inul vs Rhoma Irama yang diblow up
habis-habisan oleh media.
Sudah saatnya musik dangdut
perhatian secara kelembagaan, tidak saja dari kalangan musisi maupun birokrat,
tetapi kepada semua pihak yang turut peduli. Sehingga musik dangdut lebih
mempunyai ruang gerak di dunia musik (khusunya musik dangdut) dan tidak hanya
dijadikan objek, tetapi juga dijadikan subjek pembangunan kebudayaan dan
peradaban bangsa.
Pesan yang terkandung dalam buku ini cukup jelas bahwa dalam bermusik
(terutama musik dangdut) tidak cukup dengan mengenal kulitnya saja, tetapi yang
lebih penting adalah kemauan dan totalitas untuk memahami musik dangdut secara
lebih mendalam. Dan melalui buku ini, penulis ingin memberikan kado sebagai bekal untuk para calon diva
dangdut, pencinta dangdut, dan pecinta
musik pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar