Rabu, 18 Januari 2012


Salahkah Menjadi Waria?



J u d u l       : Hidup Sebagai Waria
Penulis       : Koeswinarno
Pengantar  : Merlyn Sopjan
Penerbit     : LKiYogyakarta
Cetakan     : I, 2004
T e b a l      : xvi + 168 hlm.

       Dunia waria merupakan salah satu wilayah yang lepas dari sudut pandang yang hanya mengakui segala hal pada dua wilayah yang saling bertentangan, seperti hitam-putih, kaya-miskin, dan pandai-bodoh. Pada wilayah jenis kelamin dan orientasi seks-pun, masyarakat hanya mengakui jenis laki-laki dan perempuan. Secara tegas, keduanya dikonstruk pada posisinya masing-masing dan tidak boleh saling bertukar.
       Pada tahun 60-an, waria di Yogyakarta masih tertutup, karena pada tahun ini Yogya belum begitu permisif dengan masalah seksual dan belum banyak orang terdidik berdatangan seperti tahun 70-an dan sesudahnya. Hanya kalangan tertentu yang menikmati jasa seksual mereka. Mereka tidak memiliki tempat mangkal khusus seperti sekarang.
       Selain jumlah mereka tidak cukup besar sebagaimana tahun 80-an juga karena belum banyak waria-waria pendatang di Yogya. Sebagai penjaja seks pada waktu itu, mereka (waria) benar-benar harus fight hidup berdampingan bersama pelacur yang beroperasi di sekitar Pasar Kembang (orang Yogya menyebutnya, Sarkem). Hingga tahun 80-an daerah Sarkem lebih dikenal dengan nama mBalokan, karena menurut sejarahnya di sekitar Sarkem dan sebelah utara Stasiun Tugu, merupakan tempat penimbunan kayu-kayu besar atau balok-balok kayu.
       Kaum waria di kota Yogya umumnya memiliki mobilitas dan dinamika sosial cukup tinggi yang diikuti dengan rapatnya jaringan dari berbagai kota. Jaringan sosial ini terjadi secara dialektik. Artinya, mobilitas waria dalam satu sisi akan menciptakan jaringan sosial, namun rapatnya jaringan sosial justru membuka peluang untuk menciptakan mobilitas sendiri.
       Tingkat persaingan waria di Yogya relatif rendah. Berbeda dengan Jakarta, seorang waria di Jakarta dituntut untuk mengikuti trend model pakaian. Selain itu, waria yang tidak melakukan operasi di beberapa bagian tubuh seperti bibir, pipi, dagu, maupun payudara tidak akan mampu bersaing, karena penampilan sangat penting.
       Konteks waria di dalam masyarakat setidaknya bisa dilihat melalui dua fenomena, pertama, bagaimana waria yang hidup dalam lingkungan sosial bersama keluarga, kedua, waria yang hidup, baik sendiri maupun berkelompok di dalam sebuah lingkungan sosial tanpa keluarga. Dua konteks ini penting karena akan menghasilkan implikasi yang berbeda. Konteks pertama, negosiasi dengan lingkungan sosial dilakukan bersama-sama dengan keluarga, sedang pada konteks kedua, negosiasi dengan lingkungan sosial dilakukan secara mandiri atau bersama waria yang lain.
       Membidangi dunia waria agaknya memang harus senantiasa memahami dunia pelacuran sebagai wacana yang sangat khas dalam kehidupan mereka. Dalam konteks sosial, pelacuran agaknya senantiasa dipandang sebagai suatu praktik hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja secara promiskuitas. Sebuah praktik relasi seksual yang tidak terlembagakan dalam ikatan perkawinan dan demi sebuah imbalan jasa berupa upah.
       Buku setebal 168 halaman ini berupaya melihat bagaimana ruang sosial memberikan pengaruh terhadap keberadaan waria, serta bagaimana waria secara kelompok merespons kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam ruang sosial yang menekannya. Buku ini menunjukkan bahwa ruang sosial, yakni keluarga, masyarakat dan kehidupan antarwaria menjadi media yang sangat penting dalam pembentukan makna hidup.
       Koeswinarno, melalui buku ini, menyelami ruang batin kaum waria secara mendalam. Meskipun kajian ini hanya yang terjadi di Yogyakarta, tetapi secara umum dapat memotret dunia waria. Titik puncak yang digoreskan penulis buku ini jelas bahwa kaum waria merupakan bagian dari masyarakat yang harus diberi ruang gerak yang sama sebagaimana orang-orang yang selama ini mengklaim diri sebagai “normal”.
       Buku ini menarik dibaca karena secara utuh buku ini merupakan sumbangan konkret yang mengurai persoalan kompleksitas perilaku waria yang memberi pengaruh terhadap ruang sosial, keluarga, masyarakat, dan tempat pelacuran. Dan, menjadi sumbangan yang sangat bernilai bagi semua kalangan, baik civitas akademika, pemerhati sosial, maupun masyarakat luas.
       Namun kiranya perlu sedikit lagi "sentuhan". Misal, perlu ditambah data secara statistik dan photo lokasi tempat mangkal waria di Yogya agar pembaca dan masyarakat umumnya dapat lebih mengetahui kondisi dan perkembangan waria di Yogya.

Selasa, 17 Januari 2012

Dangdut, Musik yang Populis
J u d u l   : Dangdut Musik Rakyat
Penulis    : Dharmo Budi Suseno
Editor      : dEn Bagus Brewok
Penerbit : Kreasi Wacana
Cetakan  : I, Januari 2005
T e b a l   : xvi + 160 hlm.

       Musik dangdut merupakan perpaduan antara musik melayu dengan musik India. Istilah musik dangdut muncul dan dikenal tahun 1970-an. Kata dangdut diindikasikan berasal dari bunyi kendang khas yang umumnya digunakan dalam pertunjukan dangdut, yakni semacam tabla (gendang India) yang bisa menghasilkan bunyi yang unik yaitu nduut. Musik dangdut cepat populer di masyarakat Indonesia karena suara gendang dalam musik tersebut mirip dengan suara gendang atau  kendang asli Indonesia.
       Fenomena dangdut sesungguhnya fenomena nasional karena telah merebak hampir ke seluruh lapisan masyarakat tanpa batasan umur maupun profesi. Mulai tua, muda, laki-laki, perempuan, dari buruh, nelayan, petani, TNI, pegawai negeri bahkan presiden, dari hajatan kampung sampai acara hotel berbintang, dari pemilu legislatif sampai pemilu Presiden. Gencarnya pertunjukan musik dangdut melalui media televisi maupun melalu pertunjukan hidup di panggung terbuka merupakan bukti konkret yang meneguhkan bahwa musik dangdut adalah musik yang populis, merakyat.
         Sajian gaya penulisan buku ini memadukan antara fiksi dan non-fiksi. Pada bagian awal, tersaji sebuah cerpen yang mengisahkan perjalanan Arya Rossa (tokoh sentral) menjadi seorang penyanyi dangdut. Meskipun fiktif, tatapi inspirasi kejadiannya memang ada serta mungkin pernah dan sedang terjadi di sekitar kita.
     Pada bagian selanjutnya, penulis menelisik sejarah dan perjalananan musik dangdut. Kebanyakan pemerhati menyatakan bahwa keberadaan musik dangdut sebagai musik hiburan populer adalah pada tahun 1959 ketika Ellya Kadam menyanyikan lagu berjudul Boneka dari India, sebagai cikal bakal musik dangdut asli Indonesia. Meskipun nuansa ke-India-annya mendominasi, Ellya Kadam mengembangkan gaya nyanyian khas orkes melayu dengan napas, ritme dan tekstur suara baru.
        Pada dekade 60-an berkibar beberapa nama seperti Ellya Agus, Ida Laila, A. Rafiq, M. Mashabi, Munif Bahasuan, Elvie Sukaesih, Ahmad Basahil, Muhsin Alatas, Rhoma Irama, dan Mansyur S. Pada era ini, musik irama melayu mulai terdesak dengan musik rock yang merebak di kalangan anak muda kota. Bahkan pada dasa warsa 70-an itu sempat terjadi 'perang' antara musik rock dengan dangdut yang ketika itu dikibarkan oleh Benny Soebardja, gitaris group rock Giant Step.
       Sepuluh tahun kemudian, 1980-an musik dangdut berhasil menyusup ke dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia dan mampu memrepresentasikan nilai-nilai universal masyarakat. Di era ini, eksistensi dan kepercayaan musisi dangdut semakin mantap di blantika nasional bahkan internasional. Hal ini cukup beralasan karena, pertama pemberian gelar "super star pelipur lara" Indonesia kepada Rhoma Irama dari William Frederick, doktor sosiologi universitas Hawaii tahun 1982 dengan hasil penelitiannya yang dituangkan dalam disertasinya "Rhoma Irama and the dangdut style". Dan kedua tahun 1985 Tarantula manggung 3 hari di Shibuya Jepang, Camelia Malaik mengenakan busana ala Srikandi dan Reynold bergaya Gatot Kaca. Style yang diusung mampu membuka pasar dangdut Tanah Air di negeri matahari terbit itu.
       Tahun 1990-an biduan biduanita bermunculan, semisal Cici Paramida, Evie Tamala, Iis Dahlia, Ikke Nurjanah, dan Cucu Cahyati. Mereka eksis mendampingi para pendahulunya. Di era ini, muncul aliran musik bernuansa disco remix yang mampu menembus diskotek-diskotek di banyak kota. Pelopornya adalah Jeffry Bule yang kemudian diikuti oleh penyanyi lain yang semula bukan penyanyi dangdut. Misalnya Anis Marsella, Ati adiati, dan Merry Andani. Sayangnya, aliran ini hanya ngetrend untuk sesaat saja.
       Setelah titik kejenuhan musik disco dangdut mencapai kulminasinya, pada tahun 1994, musik dangdut seolah kembali ke khittah dengan alat musik gendang, suling, dan siter. Evi Tamala sang pelantun tembang Selamat Malam merupakan pedangdut yang mengajak kembali ke selera asal itu. Pada era ini, Basofi Sudirman, Gubernur Jawa Timur kala itu mendendangkan lagu Tidak Semua Laki-laki. Hal ini tentu semakin memperkuat eksistensi musik dangdut.
       Memasuki awal millenium kedua, televisi berlomba meraih simpati masyarakat dengan menyuguhkan hiburan musik dangdut dalam berbagai konsep, dari recorded maupun live, dari in door sampai out door seperti DIGODA, Syik-asyik, Goyangan, Dangdut-AN, JOGED, Dangdut Pesisiran dan sebagainya, plus acara yang mengupas gosip dan rumor tentang selebritas dangdut di Tanah Air. Di awal 2003 masyarakat kita tentu masih ingat dengan geger tentang perseteruan Inul vs Rhoma Irama yang diblow up habis-habisan oleh media.
       Sudah saatnya musik dangdut perhatian secara kelembagaan, tidak saja dari kalangan musisi maupun birokrat, tetapi kepada semua pihak yang turut peduli. Sehingga musik dangdut lebih mempunyai ruang gerak di dunia musik (khusunya musik dangdut) dan tidak hanya dijadikan objek, tetapi juga dijadikan subjek pembangunan kebudayaan dan peradaban bangsa.
       Pesan yang terkandung dalam buku ini cukup jelas bahwa dalam bermusik (terutama musik dangdut) tidak cukup dengan mengenal kulitnya saja, tetapi yang lebih penting adalah kemauan dan totalitas untuk memahami musik dangdut secara lebih mendalam. Dan melalui buku ini, penulis ingin memberikan kado sebagai bekal untuk para calon diva dangdut, pencinta  dangdut, dan pecinta musik pada umumnya.

Bedah Buku
 Inilah Cinta Seorang Nasionalis
J u d u l    : Nasionalisme Cinta Iwan Fals
Penulis     : Dharmo Budi Suseno
E d i t o r : Widodo
Penerbit   : Kreasi Wacana
Cetakan   : I, September 2004
T e b a l   : xii + 159 hlm.

              Inayat Khan, seorang musisi sufi dari India mengatakan bahwa musik adalah awal dan akhir sebuah semesta. Perbuatan dan gerakan yang dibuat di dunia yang kasatmata dan tidak, semua bersifat musikal. Musik sesungguhnya kehidupan itu sendiri. Dan, Iwan Fals membuktikan, ia merekam musikalitas kehidupan melalui kekuatan syair yang diciptakannya.
           Siapa tak kenal Iwan Fals? Penyanyi sekaligus pencipta lagu kelahiran Jakarta 3 September 1961 yang bernama asli Virgiawan Listanto. Ia merintis kariernya dari bawah, ngamen. Ia tak segan-segan ngamen dari rumah ke rumah, acara hajatan, sunatan dan sesekali ke pasar kaget Blok M.
         Ia termasuk penyanyi yang kerap dicekal aparat keamanan, baik kaset maupun pertunjukannya karena lagunya yang sarat kritik. Tapi semuanya tak menyurutkan nyali untuk menyuarakan ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi yang ia saksikan. Realisme sosial dalam lirik dan musik Iwan, tampaknya memang khas dia yang terbebas dari pamrih ideologis pragmatis atau cita-cita sebuah kelompok partai. Semua terlahir dari kesadaran pribadi yang peka terhadap persoalan kemanusiaan.
           Ayah dari Galang Rambu Anarki (alm.), Annisa Cikal Rambu Bassae, dan Rayya Rambu Robbani yang mengawali karier musik di akhir tahun 70-an ini memang mengusung idealisme dalam setiap lagunya, yaitu kritik sosial. Sehingga, ia seakan dianggap sebagai ‘musuh’ bagi rezim Orde Baru. Toh berpuluh bahkan beratus judul yang bertemakan perlawanan dan kritik sosial lahir darinya.
             Warna musiknya yang oleh para penganut diidentikkan dengan gaya Bob Dylan, ada benarnya. Bob Dylan tidak sekadar penyanyi atau musisi, tetapi hakikatnya seorang penyair yang menyanyikan puisinya. Sekalipun dalam buku ini penulis mengategorikan muatan syair lagu Iwan Fals menjadi empat, yaitu nasionalisme, kritik atau protes sosial, humanisme, dan cinta.
Bergulirnya reformasi negeri ini diikuti dengan terbukanya keran kebebasan dan hiruk-pikuk ragam berita tentang carut-marut politik maupun kriminal. Tak pelak, masyarakat pun mengalami titik nadir kejenuhan.
Dengan sensitivitas yang indah, Iwan Fals menjadikan kenyataan sebagi Guru. Ia mengajak masyarakat pada satu hal yang mendasar dan sederhana, yaitu cinta. Meski dalam pengakuannya, ia sudah tak muda lagi, tetapi kondisi ini tak menyurutkan untuk melantunkan tembang yang bertemakan cinta. Cinta yang saling mengasihi.
            Mungkin sangat tepat kalau dikatakan bahwa Iwan Fals mengajak kita untuk memulai dari diri kita masing-masing. Dengan memercayai nurani kita yang jujur dengan cinta apa adanya. Nurani yang jujur akan membawa pada moral yang jujur dan moral yang jujur akan membawa pada sistem dan hukum yang adil (bahkan pemimpin yang adil). Cinta dalam nyanyian Iwan Fals adalah cinta yang benar-benar memiliki kepedulian terhadap rakyat. Inilah cinta seorang nasionalis.
Tapi lacak jejak perjalanan dan resensi lagu-lagu Iwan Fals yang dilakukan penulis dalam buku ini, kiranya masih perlu sentuhan dan keberanian yang lebih. Semisal mengupas tuntas maksud dari tiap-tiap syair yang diciptakan Iwan Fals; semacam ‘tafsir’ kata-kata dan kalimat yang terkandung di dalamnya.
Bahkan (menurut saya), penulis perlu bertemu dan wawancara langsung dengan Iwan Fals, sebagai pemilik sah karya-karyanya, agar lebih jauh mengenal sosok legenda hidup. Dengan demikian, akan lebih terasa ‘roh’nya.